logo


Sains, Teknologi dan Humaniora

Berikut penjelasanya
3642 View

Sains, Teknologi dan Humaniora
Ilustrasi TajukLombok.Com

TAJUKLOMBOK.COM - Ada dua hal menarik yang disampaikan oleh M. T. Zen dalam penutup esainya berjudulkan Keterasingan dan Gerakan Anti-Sains (Sains, Teknologi dan Hari Depan Manusia, 1981). Sosok yang pernah menjabat sebagai Guru Besar Ilmu Geofisika di ITB tersebut menyampaikan,  bahwasannya, pertama, dunia manusia membutuhkan suatu filsafat sosial (social philosophy) baru yang mampu memberikan arah perkembangan sains dan teknologi di kemudian hari. Kedua, sains bukan suatu panacea (obat pelipur lara), namun demikian umat manusia dapat mencari hikmah dari kemampuan maupun dari keterbatasan sains itu.
Wacana tersebut setidaknya merupakan pembacaan dalam waktu pasca tahun 2000. Sains dan teknologi tak bisa dipungkiri menjadi kekuatan yang begitu luar biasa dalam berbagai lini kehidupan manusia. Berbagai bias dalam realitas kemudian hari lahir dan menyeruak ke seluruh permukaan. Salah satu diantaranya adalah terciptanya kelompok bernama masyarakat konsumen (consumer society) yang tak terkendali. Terbuai dengan kemajuan demi kemajuan hingga melahirkan bagi tak sedikit orang berpersepsi bahwa sains dan teknologi adalah sosok adidaya tak ada yang menandingi.
Sembilan belas tahun di abad ke-21 telah berlalu. Peristiwa penting terjadi dan sebagian diantaranya tak akan pernah terlupakan—sebagai pijakan dalam menjalankan masa-masa selanjutnya. Tak terkecuali dalam ranah sains maupun teknologi. Kemudian, kita mafhum akan wacana terkait kedatangan masa bernama revolusi industri yang keempat. Yang mana dalam fase ini kurang lebihnya ditandai dengan keberadaan akan kemajuan teknologi digital. Dimana komputer bukan lagi sebatas pengolah data, namun melainkan dari itu komputer menjelma menjadi mesin yang mengolah data lebih kompleks serta menghasilkan keputusan yang semakin tinggi akurasinya.
Ada tiga aspek penting yang menjadi faktor dalam revolusi industri 4.0. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Dr. B. Hari Juliawan, seorang dosen di Universitas Sanata Darma adalam esainya, Kecerdasan Buatan dan Keributan Beneran (Majalah Basis edisi 11-12, 2017). Masing-masing dari ketiga faktor tersebut yaitu; data, kemampuan mengolah data (algoritma), dan kemampuan melakukan pengolahan (computing power). Gabungan dari ketiganya kemudian menghasilkan mesin-mesin yang cerdas atau bisa disebut dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Beberapa kekhawatiran muncul pada fenomena tersebut. Seperti diantaranya adalah tergusurnya beberapa ragam jenis profesi karena dapat digantikan oleh tenaga-tenaga mesin tersebut. Hal tersebut pernah disingung oleh Yual Novan Harari, penulis buku Sapiens dan Homo Deus di sebuah talkshow yang diselenggarakan oleh Technology, Entertaintmen and Design (TED) di London, Inggris pada tahun 2015. Dalam tema Why Humans Run the World tersebut Yual sedikit menyinggung sedikit ihwal revolusi industri yaitu akan adanya kelas dan pergolakan baru. Kelas baru yang dimaksudkannya berupa proletariat perkotaan—yang mana hal tersebut muncul atas kemungkinan kecerdasan komputer yang melampaui manusia di berbagai bidang.
Humaniora
Pendekatan pada aspek humaniora tidak boleh dilupakan dalam kaidah menghadapi dominasi yang dilahirkan oleh kemajuan sains dan teknologi. Hal tersebut tidak terlepas dari hakikat sains dan teknologi sebagai ilmu—yang mana tidak mengandung asas normatif mengenai tujuan yang paling akhir (telos). Piranti yang ada di sana, tak lain dan tak bukan adalah terkait mengenai etika dan aestetika. Hal itu bisa diperkuat pendapat Liek Wilardjo dalam esainya, Ilmu dan Humaniora (Realita dan Desiderata, 1990) bahwasannya ilmu harus menopang upaya humaniora dalam mencapai tujuannya.
Terlebih, walaupun memang sains dan teknologi itu merupakan salah satu alat ampuh untuk memperoleh pengertian lebih mendalam tentang teka-teki alam semesta dan mampu memecahkan berbagai masalah yang dihadapi manusia, namun terkadang dalam penerapannya kurang bijaksana. Tentu saja, itu tidak boleh dibiarkan. Manusia perlu menyadari bahwasannya sains maupun teknologi merupakan saluran yang juga mengharuskan pada realitas—tak terkecuali sosial yang lebih baik. Ia tidak dapat dilepaskan pada pranata sikap yang membuat manusia menimbang secara mendalam akan konsekuensi maupun imbasan yang hadir.
Kompleksitas dalam berbagai lini kehidupan semakin meningkat. Kemajuan demi kemajuan dalam berbagai sektor keilmuan harusnya diimbangi oleh kesadaran dari masing-masing pribadi manusia. Jelas sudah manusia harus menerima berbagai pendekatan demi pendekatan atas perkembangan yang ada di sains dan teknologi. Sains dan teknologi saat ini bukan seperti yang berkembang di masa-masa lampau—berjalan dengan sendirinya tanpa arahan maupun pedoman yang jelas. Hemat kata, lingkungan fisik maupun sosial pun juga telah mendesak ke arah itu.
Keterlibatan dari aspek humaniora itu bermuara pada sikap emansipasi, sebagaimana disampaikan oleh F. Budi Hardiman dalam esainya, Kesadaran yang Tak Bersarang—termaktub dalam buku berjudul Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (Gramedia, 1993). Emansipasi, baginya merupakan kesadaran akan pembatasan-pembatasan dan kendala-kendala yang dihadapi oleh suatu subjek dalam mengeksternalisasikan diri. Lebih dari itu, hakikat dari emansipasi itu sendiri adalah mengandaikan lahirnya sesuatu yang bernama kritik.
Kehadiran kritik sebagi tumpuan dan fondasi dalam kerangka tataran kehidupan bersama. Ia kemudian memberikan stimulus untuk kerangka acuan dalam berbagai bidang kehidupan yang ideal, seperti halnya parameter dalam menjalankan kehidupan dengan berbagai faktor yang ada. Jangan sampai dengan berbagai kemajuan yang dihadirkan oleh sains dan teknologi justru malah mengalienasi diri. Yang kemudian membentangkan jarak pada aspek-aspek yang merupakan konsep dari sosial maupun humaniora itu sendiri. (tl_indra)

Penulis: Joko Priyono*


*Menempuh Studi di Jurusan Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis Buku Manifesto Cinta (2017) dan Bola Fisika (2018).